Kembali ke Desa Curah Situbondo Mengajar Ngaji

28-11-2021

“Yang berpendidikan tidak kembali ke desa.” Demikian salah satu judul bab dalam buku dokumentasi Jatim Mengajar YDSF, sebuah program penyebaran guru muda di pelosok Jawa Timur (terbit di Surabaya, 2014).

Nyatanya memang demikian. Banyak pemuda desa yang menimba ilmu di kota besar. Namun setelah lulus, lebih banyak yang terus menetap di kota besar daripada kembali ke desa dan memajukan kampung halamannya.

Jarang Ada Yang Sampai Sarjana

Hal berbeda diyakini Salim, pemuda Dusun Mindi, Desa Curah Tatal, Kecamatan Arjasa, Situbondo. Begitu lulus dari Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Nurul Huda Situbondo, Salim kembali ke desanya.

Tim YDSF perwakilan Situbondo pernah berkesempatan melakukan survei ke lokasi. Menempuh perjalanan yang cukup berliku. Sekitar 14 km dari pusat kota. Lalu kurang lebih 8 km dengan jalanan beraspal dan sisanya jalan terjal bebatuan perbukitan. Naik turun dan terjal.

Tempat terpencil, jauh dari keramaian. Kalau mau belanja keperluan sehari-hari, warga masih harus turun dulu ke Desa Cerme sejauh 6 km dengan jalan bebatuan. Menanjak dan turunan. Kalau hujan pasti sangat licin.

Seorang rekan relawan sempat nyeletuk, “Mau dibayar berapa saja rasanya tidak mau kalau harus tinggal di sini.” Salim menimpali, "Awalnya saya juga tidak mau Bu. Saya kan sudah terbiasa tinggal di pondok pesantren sejak lulus SD.”

Dengan wajah ceria, pemuda ramah itu menuturkan bagaimana ia berubah pikiran. Ada hal yang menggelayuti benaknya. 

“Tamat SD saya masuk pondok pesantren sampai sarjana. Tetapi saya merasa punya tanggug jawab dengan ilmu saya. Saya harus memajukan desa saya. Siapa lagi yang peduli pada anak-anak desa kalau bukan anak asli sini?” tuturnya. Seketika itu, tim YDSF merasa malu sekaligus terharu dengan ketulusannya.

Salim menungkapkan anak-anak desanya hanya bersekolah dasar saja. “Selepas SD, mereka membantu orang tuanya ke tegal atau sawah. Setelah cukup umur,  mereka menikah. Begitu saja hidup mereka,” jelas lulusan Pondok Pesantren Nurul Huda Peleyan, Kapongan, Situbondo yang masih naungan dengan STAI Nurul Huda.   

“Saya berterima kasih sekali kepada kedua orang tua saya yang dengan susah payah membiayai pendidikan saya. Meskipun mereka harus utang sana sini agar saya bisa sampai sarjana. Mereka berharap saya meneruskan jejak mereka mengajari anak-anak mengaji anak-anak di sini,” lanjut pemuda kelahiran 6 Mei 1994 ini.  

“Saya tidak ingin mengecewakan orang tua saya. Mereka sudah berkorban apa saja untuk  menyekolahkan saya sampai sarjana. Dan saya punya tanggung jawab ilmu yang saya peroleh di pondok pesantren dan di kampus,” ucapnya dengan penuh keyakinan. (Baca juga: Agrowisata Durian di Jember, Potensi Mendunia)

Tetap Bertani Dan Beternak Sambil Mengajar Ngaji

Bersama sang istri, Salim mendampingi anak-anak desa belajar dan mengaji di sore hari. Semua dilakukan tanpa pungutan biaya. Inilah pengabdian bagi Salim dan Musrifah S.Pd, istri Salim.

Di pagi hari, Salim terjun ke ladang. Ia menanam jahe dan jagung. Setelah panen, hasilnya bisa langsung dijual untuk kebutuhan sehari-hari. (Baca juga: Kisah Guru di Jember | Mengantar Siswa Mandi di Kali)

Ada pula yang disimpan untuk cadangan jika membutuhkan uang sewaktu-waktu. Ia juga beternak sapi. Yang hasilnya bisa digunakan setiap tahun sekali jika ada keperluan yang lebih besar.

Sedangkan sang istri mengajar di di SD setempat di pagi hari. Sorenya ikut membantu sang suami untuk menemani belajar dan mengaji santri-santri TPQ Mushola Nurul Yaqin.

“Anak-anak belajar dan ngaji di sini tidak perlu membayar . Al Quran juga kami sediakan. Alhamdulillah ada beberapa orang yang mau menyumbangkan Al Quran untuk santri dan santriwati di sini,” jelasnya.  

Kini jumlah muridnya sekitar 30 anak. “Alhamdulillah, dua anak sudah hafal satu dan dua juz. Yang lainnya masih dalam proses menghafal,” paparnya. (Baca juga: Kisah Kakek Tanpa Tulang Hidung Pantang Mengemis Dari Bondowoso)

Terkendala Biaya Pengembangan Sarana

Salim dan ayahnya berencana memperluas mushola ini. “Rencananya mau diperbesar dan jadi masjid. Supaya bisa digunakan untuk shalat Jumat. Karena kalau untuk shalat Jumat masih agak jauh dari dusun kami,” bebernya.

Salim mengaku terkendala biaya. Saat ini, pihaknya sedang kesulitan pembangunan wudhu. Saat tim YDSF berkunjung, belum ada tempat wudhu di Mushala Nurul Yaqin. Dana yang masuk nanti juga untuk perluasan teras sehingga mampu menampung jamaah Shalat Jumat. (Naskah: Sucik W | Foto: Irma S)

###

Percayakan infaq terbaik Anda melalui rekening Bank Syariah Indonesia nomor 703.996.999.2 atas nama Yayasan Dana Sosial Al Falah. (Baca juga: Bantu Azizah Calon Hafidzah Lawan TBC Paru-paru)