“Nanti sore kita bisa diskusi di rumah?”
“Bisa,” saya menjawab tanpa ragu. Ini telepon dari seorang tokoh di Surabaya. Sudah biasa saya berdiskusi segala hal. Entah tentang dunia dakwah, hingga dunia yang lainnya.
Ini masa Covid-19, saya pakai masker. Beliau yang sudah kepala tujuh juga memakai masker warna putih. Duduknya lebih jauh, sekitar dua meter berjarak, tidak seperti biasanya yang bisa satu meter. Tiba-tiba sosok berambut putih itu menyampaikan, “Saya ingin diskusi tentang marketing sebuah aplikasi digital…”
Hanya beberapa orang yang sering mengajak saya diskusi marketing segala, termasuk sosok pengusaha tulen tersebut.
“Di saat sulit seperti ini saya harus bersiap. Harus memanfaatkan untuk terbang jika keadaan sudah pulih. Virus sudah pamit,” itu pesan kuatnya.
Saya terhenyak sejenak. Selalu ada kesempatan untuknya berbuat meski di saat yang sangat sempit ini. Pemasukan kering, pengeluaran terus meluber. Inilah pandemi.
Di kesempatan lain saya juga dikirimi WhatsApp oleh seorang tokoh pendidikan, “Mas… saya bisa khusyu’ untuk berpikir… Saya kirim ide-ide saya. Kalau kurang tanyakan. Tolong ditulis…” Begitulah.
Benar saja, dalam waktu dua pecan bisa menghasilkan 40 judul tulisan. Pengelola banyak sekolah ini memanfaatkan keadaan yang sedang hening.
Saya tanya juga kepada sosok lainnya yang mapan, berduit, “Apakah Anda juga merasakan kesulitan?”
Saya seperti ditegur, “Berpikirnya jangan seperti itu. Semua sedang sulit. Saya juga. Tapi lakukan yang kita bisa. Jangan cuma gulang-guling di kasur.”
Saya termanggut-manggut mendengarnya. Dia sudah kenyang garam kehidupan.
Saya kemudian ingat jarum jahit. Batangnya panjang dan ujungnya tajam. Itulah senjatanya. Tapi kita pasti tahu yang selalu dilihat oleh mata telanjang bukan ujungnya, apalagi mengukur panjangnya tapi lubang kecil di pangkalnya. Karena begitu serius kita melihat, sampai harus memicingkan mata, nginceng.
Kadang kalau ibu-ibu sudah tua sampai harus melihat di bawah lampu. Semua demi memasukkan sehelai benang. Susah memang. Tapi kalau sudah masuk, jarum yang tajam itu bisa menari-nari di kain, menjahit membuat busana idaman.
Saya kemudian berpikir, apa yang bisa dilakukan jika tidak punya apa-apa di masa Corona. Jawabannya adalah saatnya memberi. Memberi bukan berarti harus uang atau barang. Memberi itu arti pentingnya berbagi kebaikan, berbagi pertolongan.
Saya sering melihat ketika berangkat ke kantor, ada saja orang menepi membagi nasi bungkus pada ojek, tukang bersih taman. Ada juga yang membagi nasi kotak, minuman. Semua ingin berbuat yang bisa memberikan manfaat. Karena ketika kesulitan memuncak, di situlah kebaikan sangat diharapkan.
Bahkan di masjid dekat rumah, saya ajak ta’mir untuk membangun pasar digital. Dia bingung, apa pasar digital. Intinya adalah pasar kebaikan.
Banyak orang takut keluar rumah. Tapi kebutuhan terus diperlukan. Maka masjid membeli di pasar kebutuhan jamaah. Nantinya jamaah infaq seikhlasnya. Jika ada jamaah yang punya masakan, masjid yang menawarkan kepada jamaah yang lain.
Semuanya lewat ponsel. Tinggal dibuat katalog, di-share. Semua menikmati. Meskipun skalanya tidak besar, tapi semua merasakan manfaatnya. Bahkan masjid sudah membuka resto untuk sahur dan berbuka. Cukup pesan sehari sebelumnya. Makanan diantarkan ke rumah.
Lakukanlah kebaikan yang kita bisa. Walau hanya sepotong senyuman. Karena sudah terlalu banyak begal nekat keluyuran. Sampai ditembak polisi pun tidak berhenti, tetap tancap gas melarikan diri.
Karena bisa jadi begal itu berharap kebaikan, tapi tak kunjung datang. Perut sudah kadung lapar orang tidak sadar. Padahal selalu ada kesempatan di saat kesulitan. Kesempatan itu adalah memuncaknya kesempatan untuk berbuat baik.
Sekarang orang rindu senyuman di tengah Corona. Rasanya mahal sekali. Kalau melihat dokter yang berjuang, tampilkan senyuman. Melihat perawat yang menghapus keringat di kening, sampaikan salam sembari tebar senyuman. Jangan ketakutan.
Pilihannya hanya dua, kita berbuat baik, atau kita menunggu kebaikan itu datang. Tolong jangan pilih yang ketiga atau keempat. Itulah kesempatan di tengah lubang jarum tajam.
Oleh Ma'mun Afani
Penulis novel & admin http://panduanterbaik.id/
Ilustrasi/foto: pixabay.com
###
Anda bisa bersedekah secara rutin ke Yayasan Dana Sosial Al Falah (YDSF), sebuah lembaga amil zakat yang terpercaya di Indonesia sejak 1987.
Percayakan infaq terbaik Anda melalui rekening BSI ex BRI Syariah nomor 77.00.000.000 atau BSI ex Bank Mandiri Syariah nomor 703.996.999.2 atas nama Yayasan Dana Sosial Al Falah. Mari bantu saudara yg terdempak covid-19 dengan berdonasi di YDSF.
(Baca juga: Bantu Azizah Calon Hafidzah Lawan TBC Paru-paru)
Foto: pixabay