Cerpen Orang Tua Rindu Anaknya (bag. 2 dari 3) | Asa di Ujung Putus Asa

23-03-2021

Cerpen Orang Tua Rindu Anaknya (bagian 2 dari 3) | Asa di Ujung Putus Asa

“Saeful, ibu mau masukkan beras. Gulungan-gulungan gambarmu disingkirkan, atau ibu buang,” Ibu berteriak.

Saeful yang masih mencuci kuas merasa kesal. Dibuang kuas yang belum selesai ia bersihkan. Ia bergegas ke ruang belakang. Ia pandangi gulungan yang mungkin sudah lebih dari seratus. Ada yang di dalam pipa paralon. Ada juga yang cukup diikat daun pisang kering. 

Saeful pun bingung harus dikemanakan. Garuk-garuk kepala.

“Ipul, cepat. Ini berasnya mau ibu pindah,” teriakan ibu terdengar lagi. Kini Saeful sudah melihat orang membawa beras masuk kamar. Tanpa berpikir panjang Saeful langsung keluarkan karya-karya besarnya. Dengan hati kesal ia membawa gulungan-gulungan itu. 

Dalam hati Saeful kesal bukan kepalang. Tapi semua butuh makan. Ibu melihat gulungan ini tak ubahnya seperti kayu bakar. Dibuang atau dibakar. Saeful sampai menangis melihat gulungan-gulungan lukisannya. 

Tapi ia ingat satu hal. Alun-alun Bondowoso. Ia akan coba ngemper di pinggiran Alun-alun. Pasti banyak orang datang. Besok hari Ahad, Alun-alun ramai. Saeful buru-buru mengemas gulungan-gulungan di kardus. 

Selepas Subuh, Saeful sudah bersiap-siap, lupa makan, lupa minum. Saeful juga tidak bawa uang. Yang terpenting ia bawa harta paling berharga miliknya. Karya-karya lukisnya. 

Diikat kardus di belakang sepeda, tas di punggung juga berisi gulungan kanvas, belum lagi di stang sepeda, semua berisi lukisan. Udara segar dihirup di antara bau keringat tubuhnya. Jatuh satu gulungan di tengah jalan, Saeful berhenti. Memungut kembali. Dikayuh lebih kencang. 

Sampai di alun-alun Bondowoso ternyata sudah banyak pedagang yang mulai menunjukkan jualannnya. Saeful bingung hendak diletakkan dimana gulungan-gulungan lukisannya. Ia melihat di sekitar masjid masih kosong. Ia menuntun sepeda. Mulai membuka lukisan-lukisannya. Ditempel di sepeda, dibuka dan ditindih batu agar tampak lukisan indahnya. 

Kadang kalau ada orang yang lewat berhenti sejenak, Saeful pasti mendekat, “Lukisan Pak. Dibuat dengan tangan saya sendiri.”

Tapi orang itu pasti pergi. Setiap yang berhenti kalau didekati pasti kembali pergi. Matahari tidak kunjung tampak. Mendung yang justru muncul. Saeful was-was. Jika hujan, semua karyanya akan hancur. Tapi ia ingin ada yang membeli lukisannya. 

Semakin lama langit semakin gelap. Pengunjung semakin menepi. Saeful masih gagap, bingung harus diapakan lukisannya. Dan bressss… Hujan pun turun sangat deras. Saeful tidak bisa banyak bertindak. Puluhan lukisannya diguyur hujan.

Ia melihat air hujan membasahi tinta, mengalir bercampur waran. Saeful termenung dalam tangis, tubuhnya mulai basah. Mungkin ini akhir dari angan-angan yang tidak pernah bisa terbang.

“Nak… Nak…” suara ibu-ibu menyadarkannya. Tapi Saeful seperti tidak mendengar.

Ibu itu di tengah hujan membereskan lukisan. Menyelamatkan yang bisa diselamatkan. Diletakkan di teras sebuah rumah tua.

Saeful sedikit mulai sadar, tubuhnya sudah basah. Mengambil lukisan yang tersisa. Menepi bersama ibu di teras rumah, “Terima kasih, Bu.”

“Namamu siapa?”

“Saeful, Bu…”

“Itu semua hasil karyamu?”

Saeful mengangguk tanpa kata. 

“Bisa kamu lukis satu keluarga ibu?”

Saeful terdiam terkejut, mengangguk-angguk beberapa kali. Baru ada kali ini seseorang yang memintanya melukis. 

Ibu itu tanpa banyak kata memberikan foto keluarga di dompetnya, “Ibu tunggu satu pekan. Nanti kalau sudah selesai kamu hubungi nomor ibu yang ada di belakang.”

“Baik bu…”

Saeful bersalaman, dengan tangan basah. Mencium tangan sang Ibu dengan hangat. Ibu itu pergi. Saeful mengejar, “Ibu…”

Ibu itu berhenti di balik gerimis hujan, menoleh ke belakang.

“Boleh tahu nama Ibu,” Saeful berharap.

“Fatimah,” Ibu berkerudung menjauh.

Saeful bersyukur, tertunduk. Melupakan perutnya yang kosong belum makan. Ia mungkin putus asa, tapi asa datang di ujung habisnya harapan.(bersambung, cerita ini fiktif dan hanya rekaan penulis semata).
Bersambung ke bagian tiga

Kembali ke bagian pertama: klik Keringat Cinta Tua

Foto: pixabay

Oleh Ma'mun Affany, penulis dan pengelola panduanterbaik.id

###
Cerpen Orang Tua Rindu Anaknya ini telah dimuat di Majalah Al Falah YDSF. YDSF adalah lembaga amil zakat nasional yang berdiri sejak 1987 dan dipercaya lebih dari 300 ribu donatur rutin tiap bulannya. Anda bisa mendapatkan majalahnya jika tercatat sebagai donatur rutin tiap bulannya. 

Jika Anda ingin berinfaq atau bershadaqoh secara rutin, bisa melalui YDSF via rekening BRI Syariah nomor 77.00.000.000 atau Bank Mandiri Syariah nomor 703.996.999.2, atas nama Yayasan Dana Sosial Al Falah.

Atau hubungi petugas kami di nomor 0811-350-3151 (WhatsApp/SMS).