Komunikasi bisnis yang efektif dan komunikasi yang berbuah, keduanya butuh ilmu serta penghayatan. Salah satu kesuksesan hidup manusia ditentukan dari bagaimana cara dia bergaul dengan sesama manusia. Cara dia berkomunikasi dan berbicara menentukan seberapa bagus dia diterima orang lain. Bahkan kesalamatan hidupnya di dunia ini dan di akhirat kelak ditentukan salah satunya dari cara dia berbicara dan apa yang dibicarakan.
Rasulullah Muhammad saw menjelaskan, “Sesungguhnya ada seseorang yang berkata dengan suatu perkataan yang dia anggap remeh, namun akibatnya dilemparkan ke neraka sedalam 70 tahun” (HR. Bukhari).
Disebutkan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw,“Wahai Rasulullah , tunjukkanlah kepadaku amalan yang bisa memasukanku ke dalam surga.” Rasulullah menjawab, “Jagalah ini,” sambil menunjuk ke lidahnya.
Cara seseorang berkomunikasi itu sangat penting dalam kehidupan beragama. Urgensi komunikasi itu disebutkan setelah urgensi ketaatan kita kepada Allah dan urgensi berbuat baik kepada ayah ibu dan kaum dhuafa. Mari perhatikan firman Allah di bawah ini.
“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu), ‘Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.’ Kemudian kalian tidak memenuhi janji itu, kecuali sebagian kecil dari kalian, dan kalian selalu berpaling” (QS. Al Baqarah 83).
Potongan ayat ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia mendahului perintah shalat dan zakat. Ini bisa dimaknai, bahwa komunikasi dengan sesama manusia itu sudah sama pentingnya dengan ibadah ritual seperti shalat dan ibadah harta seperti zakat.
Karena itu, Allah Swt. banyak menjelaskan jenis komunikasi di dalam Al-Qur’an dengan beragam pola. Bermacam pola komunikasi ini menunjukkan perlunya upaya saling menyempurnakan dan juga memperhatikan lawan bicara kita. Tujuan akhirnya agar komunikasi kita bisa tersampaikan dengan baik dan berdampak positif, baik bagi kita sendiri maupun pihak lain yang diharapkan menerima pesan kita.
Kebaikan seseorang itu bisa dilihat dari ucapan yang dilontarkan. Apakah ia berkata jujur atau omong kosong. Akan lebih parah jika ucapan itu merupakan kedustaan. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar” (QS. Al Ahzab 70-71).
Dari firman Allah ini, komunikasi yang valid merupakan bentuk ketakwaan kita. Allah mensejajarkan ketakwaan dengan kejujuran atau komunikasi yang shahih. Di era informasi saat ini, media sosial dijejali informasi dusta alias hoax. Dan jika informasi ini viral, betapa banyak hal ini menyesatkan manusia.
Belum lagi banyaknya modus kejahatan yang memanfaatkan media sosial atau media online. Mulai dari SMS penipuan, broadcast pesan berantai, spam email hingga sambungan telepon yang seakan menyihir sang korban untuk melakukan pengiriman sejumlah uang via rekening bank. Modus seperti ini kerap memakan korban.
Manusia berbeda sama sekali dengan hewan. Misalnya penyu laut. Begitu telurnya menetas, penyu laut langsung berjalan menuju pantai dan kemudian berenang mengarungi lautan. Umumnya, hewan itu langsung mampu melakukan aktivitas sebagaimana hewan dewasa.
Sedangkan manusia tidaklah demikian. Ketika dilahirkan, manusia tak bisa melakukan apa-apa. Dia hanya bisa menangis. Semua aktivitas bergantung bantuan ayah ibunya atau kerabat yang mengasuhnya. Semua itu berjalan hingga manusia usia akil baligh. Sejak itu, barulah dia bisa melakukan semua aktivitas seperti halnya orang dewasa.
Karena itulah, manusia dituntut berkomunikasi dengan sikap mulia dengan orang-orang yang berjasa mengasuhnya dan mendidiknya hingga bisa menjadi manusia paripurna. Tidak hanya dituntut berkomunikasi secara benar, namun juga berbicara dan bergaul dengan sikap yang mulia. Karena level mulia itu derajatnya di level benar. Sehingga, sikap mulia sudah mencakup perkataan yang benar.
Allah Swt berpesan, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kalian jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada kedua orangtuamu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, sekali-kali janganlah kalian mengatakan kepada kepadanya perkatan ah dan kamu janganlah membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka (qaulan karima) ucapan yang mulia” (QS. Al Isra 23).
Agar sukses menjalankan bisnis ataupun mengemban sebuah misi, maka pola komunikasi harus dibangun dengan kejujuran dan menyenangkan. Karena, komunikasi yang menyenangkan dan dilandasi dengan ketulusan akan melahirkan hubungan antarmanusia yang erat.
Jika Anda seorang pengusaha, maka komunikasi yang menyenangkan bisa makin memperkuat hubungan dengan mitra. Demikian pula jika Anda seorang guru, dai, pimpinan perusahaan, karyawan, pengurus organisasi/lembaga, orangtua dan juga pasangan suami istri (pasutri).
Dengan komunikasi yang hangat dan menyenangkan, maka akan terbangun hubungan yang menyenangkan pula. Bahkan kepada penguasa yang kejam pun seperti Firaun, Allah memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun untuk menggunakan komunikasi yang bisa meluluhkan hati objek dakwah.
Al-Qur’an merekam kisah misi dakwah Nabi Musa & Harun, “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, Sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut” (QS. Thaha 43-44).
Tak dapat dimungkiri, saat ini kita pasti bergaul dengan generasi milenial. Kaum muda ini saat kini berkiprah hampir semua lini kehidupan. Jumlah penduduk Indonesia selama beberapa tahun mendatang akan terus meningkat. Berdasarkan data yang dimiliki oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2018 lalu jumlah populasi Indonesia mencapai 265 juta jiwa. Kemudian, pada 2024, angkanya berpotensi meningkat hingga 282 juta dan sekitar 317 juta jiwa pada 2045.
Data BPS 2018, jumlah generasi milennial (20-35 tahun) mencapai 24 persen, setara dengan 63,4 juta dari 179,1 juta jiwa yang merupakan usia produktif (14-64 tahun). Tidak salah bila pemuda disebut sebagai penentu masa depan Indonesia. Inilah yang disebut sebagai bonus demografi.
Sayangnya, komunikasi generasi yang lebih tua dengan generasi milenial mengalami kesenjangan. Banyak pimpinan di dunia kerja mengeluhkan sulitnya berkomunikasi dengan kelompok usia ini.
Aditya Rahman Yani S.T., M.Med.Kom, dosen jurusan Desain Komunikasi Visual UPN Veteran Jawa Timur, memberi beberapa kiat bagaimana menjalin komunikasi dengan genenasi milenial ini.
“Kalau ingin berkomunikasi yang nyambung dengan mereka, wajib bagi kita untuk memahami aktivitas-aktivitas kekinian yang dekat dengan keseharian mereka,” jelas sosok yang aktif terjun aktivitas kawula muda ini.
“Misalnya, hari ini generasi yang lebih tua sering sebal lihat anak-anak muda milenial suka nongkrong, ngopi, dsb. Padahal nongkrong itu sesuatu yang netral, bisa baik kalau yang dilakukan sambil diskusi tentang hal-hal positif atau mengerjakan tugas kuliah misalnya. Bisa juga negatif, kalau nongkrongnya sampai melupakan ibadah. Nah, coba dipahami dulu, jangan terburu-buru melarang atau memvonis. Kita bisa mengarahkan mereka kok kalau ngerti dimana letak celahnya. Sebagaimana dulu ada organisasi dakwah bernama Ikhwanul Muslimin di Mesir bisa dirintis dari obrolan di warung kopi. Kini sudah jadi organisasi dakwah skala dunia,” papar dosen muda usia 35 tahun ini.
Misalnya kalau anak milenial punya karya, meski sekadar karya foto lewat ponselnya. “Kalau diunggah ke media sosial lalu dapat like dan komen itu senangnya minta ampun. Ini harus kita pahami, bahwa itulah dunia mereka. Ibaratnya, ‘Kalau kamu respek sama aku, maka aku pasti akan respek dengan kamu,’" ungkapnya memberi contoh.
Acap kali komunikasi tidak mengena. Atau bahkan tidak tersampainya pesan ke lawan bicara kita.
Menurut pakar, setidaknya ada tidak sebab mengapa komunikasi kita tidak mengena kepada orang di sekitar kita.
Begitu pula sebaliknya. Jika dia selalu meragukan kita, sulit bagi kita memaparkan sesuatu perkara. Ini juga berlaku juga pada pimpinan-bawahan, rekan kerja, organisasi maupun pejabat-rakyat.
Jika ingin memperbaiki komunikasi, maka perbaiki dulu sikap ini. Bisa jadi ada rasa tak percaya itu disebabkan ada janji yang belum ditunaikan. Atau ada utang yang terlunasi. Maka sebaiknya penuhilah janji dan bayarlah utang, bisa utang berupa harta maupun utang nonbenda (janji, kemaafan, komitmen, dll). Sehingga kemudian tumbuh lagi kepercayaan itu.
Nah, komunikasi tidak akan efektif jika terjadi sudut pandang yang tajam. Maka untuk mengatasinya kedua belah pihak harus bersedia duduk bersama. Harus mau menyamakan sudut pandang. Lakukan musyawarah secara berkala dengan penuh hikmat, sebagaimana amanat pendiri negeri ini di sila ke-4.
Dalam sebuah tim, juga harus ada sosok yang jadi teladan. Sehingga dia ini akan diharapkan mampu merekatkan kembali keretakan. Atau jika itu organisasi seperti perusahaan atau ormas, sang pemimpin harus punya juga sikap tegas. Jika ada anggota yang sudah sulit dibina, bukan tak mungkin memotongnya demi kemaslahatan yang lebih luas. Ibarat penyakit, jika sulit disembahkan, maka tim medis melakukan amputasi demi kebaikan organ tubuh yang lain. Tentu semua itu setelah dilakukan pembinaan intensif serta melalui musyawarah yang baik.
###
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Al Falah, majalah terbitan Yayasan Dana Sosial Al Falah (YDSF) Jember. YDSF adalah lembaga amil zakat nasional yang telah dipercaya 300 ribu lebih donatur rutin tiap bulannya. Salurkan donasi terbaik Anda ke YDSF, melalui rekening BRI Syariah nomor 77.00.000.000 atau Bank Mandiri Syariah nomor 703.996.999.2, atas nama Yayasan Dana Sosial Al Falah.
Foto: pixabay.com