Foto: Sarwito, AMd.IP,SH (kiri) dan kru YDSF
Kisah Sukses Kalapas Bondowoso Sarwito, AMd.IP, SH | Siapa sangka, sosok yang penting ini dulunya telah banyak melalui perjuangan agar bisa berprestasi. Sejak SD, Sarwito biasa berjalan kaki ke sekolah sekitar 3-4 km.
“Hanya jalan setapak biasa. Pada waktu itu, jarang sekali anak sekolah pakai sepatu. Kalau pun bersepatu, hanya di sekolah saja. Setelah pulang, sepatunya dilepas dan nyeker,” begitu tuturnya sambil tersenyum.
Sejak bersekolah, pria asal Desa Banjar Panepen, Kec. Sumpiuh, Banyumas, Jawa tengah ini sering ranking di kelas. Meski begitu, dia tetap membantu kedua orang tuanya.
“Orang tua saya kerja sebagai petani ladang dan beternak kambing, ayam dan ikan. Sejak kecil, saya sudah biasa mencari rumput sendiri untuk pakan ternak milik bapak, dan juga mencari kayu bakar sendiri,” katanya. (Baca juga: Pemuda Bondowoso Merawat Ayah Tunanetra)
Daerah tempat tinggal masa kecilnya dipenuhi dengan hutan. “Daerah ini sulit dijangkau, sulit ekonomi, sulit informasi. Dulu tidak ada listrik. Kalau malam, pakai lampu teplok. Kalau mau ke kecamatan, jaraknya 7 km,” jelasnya.
Rata-rata masyarakat di sana, masih kata Sarwito, bekerja sebagai petani lading. Hanya memanfaatkan dari tanaman-tanaman yang sifatnya tahunan.
“Musim panen tahunan tidak setiap saat ada seperti pete atau buah duku. Tingkat pendidikan anak-anak di desa sana juga terbatas. Dan yang bisa melanjutkan sekolah sampai tuntas hanya orang-orang yang mampu saja,” ujar anak kedua dari lima bersaudara ini.
“Atau orang tuanya yang sadar akan pentingnya pendidikan. Mayoritas anak-anak sana waktu itu tamat SD tidak melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya. Biasanya langsung menikah, ada juga sebagian lanjut SMP atau SMA kemudian merantau keluar daerah,” paparnya. (Baca juga: Kisah Kakek Tanpa Tulang Hidung Pantang Mengemis Dari Bondowoso)
Lalu Sarwito melanjutkan pendidikan ke SMPN 1 Sumpiuh, Banyumas. Sekolah ini merupakan sekolah favorit pada waktu itu dan hanya anak-anak yang punya nilai bagus yang diterima masuk
Jarak sekolah harus tempuh sekitar 7 km. Sepedanya sering ditipkan dititipkan di tempat saudara. Karena tidak ada jalan untuk sepeda ke rumahnya.
“Jalannya tinggi karena daerah pegunungan. Jadi dari rumah, jalan kaki ke tempat saudara, baru setelah itu ke rumah saudara. Lalu bersepeda ke sekolah. Sebelum berangkat sekolah, saya biasa memberi pakan ternak. Kadang ketika pulang sekolah, harus cari rumput dulu,” ungkapnya.
Setelah lulus SMP, Sarwito melanjutkan di SMAN 1 Banyumas, mengikuti jejak sang kakak. Sarwito dan kakaknya selisih satu kelas saja. Kakak perempuannya mengambil jurusan IPS sedangkan sarwito mengambil jurusan Biologi.
Sarwito mengambil jurusan Biologi waktu itu karena ingin menjadi tenaga kesehatan di desanya. (Baca juga: Kisah Guru di Jember | Mengantar Siswa Mandi di Kali)
“Angan-angan saya waktu itu ingin menjadi petugas kesehatan. Karena terinspirasi oleh kondisi lingkungan saya yang jarang tenaga medis. Orang desa harus periksa ke kecamatan yang jaraknya cukup jauh,” tuturnya.
“Saya pernah sakit waktu kecil. Karena tidak ada kendaraan, ayah saya menggendong saya sampai ke puskesmas yang lokasinya di daerah kecamatan, jaraknya 7 km naik turun,” ungkapnya.
Selama SMA, Sarwito dan kakak harus tinggal di rumah kos yang dekat sekolah. Selepas SMA, Sarwito ditawari oleh keluarga pemilik kos agar mendaftar di sekolah tinggi kedinasaan di Jakarta.
“Saya mendapat saran ikut tes Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP), sekarang ganti nama Politeknik Ilmu Pemasyarakatan. Awalnya orang tua sempat pesimis karena mengira jika kuliah nanti biaya akan mahal dan orang tuanya tidak mampu membiayai,” jelasnya. (Baca juga: Niat Memajukan Kampung Muncar Banyuwangi Hampir Terkabul)
Namun kuliah di AKIP itu tidak perlu biaya malah diberi uang bantuan semisal beasiswa selama kuliah oleh pihak AKIP. Akhirnya orang tuanya setuju.
“Yang ikut tes sekitar puluhan ribu. Dan, alhamdulillah saya termasuk salah satu dari 60 orang yang diterima. Waktu tes saya menginap di masjid dekat AKIP. Itu pertama kali saya ke Jakarta dan belum ada kenalan,” beber bapak dua anak ini.
Setelah lulus AKIP, Sarwito ditempatkan di Rumah Tahanan Balikpapan, Kalimantan Timur pada 1996. “Lalu 2002 saya mutasi ke Samarinda. Pernah juga bertugas di Kalsel, Jambi, Cirebon, Malang, Kalteng dan kini ditempatkan di Bondowoso,” paparnya.
Semua perjuangan itu dilaluinya dengan penuh kesabaran dan ketelatenan. Kiranya perjuangan Sarwito inilah yang menjadi inspirasi yang positif bagi banyak orang. (Laporan Syaiful Bahri).
###
Percayakan infaq terbaik Anda melalui rekening Bank Syariah Indonesia nomor 703.996.999.2 atas nama Yayasan Dana Sosial Al Falah. (Baca juga: Bantu Azizah Calon Hafidzah Lawan TBC Paru-paru)